Seorang ulama "nyentrik" yang memiliki pemikiran pluralis inilah yang pertama kali menyudahi diskrimasi terhadap kelompok Tionghoa selama bertahun-tahun di tanah air.
Melalui Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, Gus Dur ketika itu mencabut instruksi Presiden Soeharto pada tahun 1967 yang membatasi gerak kelompok Tionghoa.
Di dalam peraturan itu, kelompok Tionghoa tidak diperkenankan melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok dan hanya dibolehkan di lingkungan keluarga.
Alasannya ketika itu, Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa telah menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi. Alhasil, perayaan Imlek pun tidak dilakuan terbuka selama masa Orde Baru.
Pada Masa Orde Baru pula, seluruh warga keturunan Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama Tionghoa-nya ke bahasa Indonesia.
Begitu menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak sepakat dengan pemikiran Soeharto ketika itu. Dia meyakini bahwa warga Tionghoa yang sebelumnya dibedakan adalah bagian dari warga negara Indonesia. Sehingga, mereka berhak mendapatkan hak yang sama, termasuk menjalankan keyakinannya.
Pada tahun 2000 itu, Gus Dur menetapkan bahwa hari raya Imlek adalah hari libur yang fluktuatif. Artinya, hanya mereka yang merayakan yang boleh libur. Kebijakan itu kemudian dilanjutkan Presiden kelima RI, Megawati Soekanorputri yang menetapkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.
Gus Dur pun menganggap muslim Tionghoa boleh merayakan Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan yang musyrik. Bagi dia, perayaan Imlek adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama sehingga sama seperti tradisi lainnya yang dilakukan di Jawa.
Selain karena kebijakannya yang menyudahi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, Gus Dur juga sempat membuat geger. Gara-garanya, pria yang merupakan cucu dari ulama besar NU, Hasyim As'ari ini mengaku keturunan Tiong Hoa.
"Saya ini China tulen sebenarnya, tapi ya sudah nyampur lah dengan Arab, India," ungkap Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur seperti diberitakan Kompas.compada 30 Januari 2008 silam.
Pengakuan Gus Dur soal garis keturunannya itu bukan sekali saja diutarakannya. Namun yang pasti, pengakuan itu sempat membuat geger kala itu.
Berdasarkan cerita Gus Dur, dia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menjadi selir dengan raja di Indonesia. Dari situ, Putri Cempa memiliki dua orang anak yakni Tan Eng Hwan dan Tan A Hok.
Tan Eng Hwan kelak dikenal sebagai Raden Patah sementara Tan A Hok adalah seorang mantan jenderal yang sempat menjadi duta besar di China. Dari garis Raden Patah itulah kemudian Gus Dur mengaku mendapatkan keturunan Tionghoa-nya.
Pengakuan Gus Dur ini juga sempat dikuatkan oleh tokoh NU lainnya, Said Aqil Siradj pada tahun 1998 seperti yang dituliskan dalam buku "Gus Dur Bapak Tionghoa Indonesia".
Kala itu pada tahun 1998, Said Aqil menceritakan bahwa Tan Kim Han memiliki anak bernama Raden Rachmat Sunan Ampel dan menurunkan KH. Hasyim As'ari yang selanjutnya menurunkan KH. Wahid Hasyim dan punya anak bernama Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Jadi, Gus Dur itu Tionghoa, maka matanya sipit," ujarnya sambil tersenyum.
"Dengan demikian, tidak ada istilah pro dan nonpro serta muslim dan nonmuslim," ungkap Said Aqil waktui itu.
Bapak Tionghoa Indonesia
Terlepas dari garis keturunan Tionghoa yang dimiliki Gus Dur itu, etnis Tionghoa yang sudah berabad-abad ada di Indonesia tetap menganggap Gus Dur adalah salah satu tokoh yang layak mendapat penghargaan.
Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang dibuar Gus Dur itulah, etnis Tionghoa hingga para penganut Konghucu tidak lagi menyembunyikan simbol mereka, suatu yang terlarang di era Orde Baru.
Tidak heran maka pada 10 Maret 2004 di kelenteng Tay Kek Sie, Gus Dur dinobatkan sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia". Gus Dur hadir dalam penobatan itu dengan pakaian lengkap menggunakan baju cheongsam meski harus duduk di kursi roda.
Selepas kepergian Gus Dur pada 30 Desember 2009 silam, makamnya terus didatangi warga Tionghoa yang mendoakannya hingga kini. Foto Gus Dur pun kini kerap ditemui di sejumlah kelenteng untuk mengingat jasa-jasanya.
0 komentar:
Posting Komentar